Seberapa Jauh Kau Tlah Arungi Lautan Kesunyian Itu?

Aku tak bisa mengingat nama tempat, pun jalur jalan. Ketika ada orang yang bertanya arah, aku akan mati kutu dan menjawab tak tahu. Bahkan jika pun itu adalah jalurjalur kota kelahiranku.

Aku tak mengingat pula nama orang. Tapi tak separah sang tua pikun. Kadang raut wajah menjentikkan suku kata atau suara. Dan nama mengalir di jantung lidahku. Terucap, seperti tergelincir dari lantai landai yang basah.

Di antara dua kutub Bumi, tak banyak tanah yang aku jejaki. Di antara dua waktu, jarakku tak banyak beranjak. Sepatuku tak tua dan jaket ku tak lusuh. Aku tak membawa gembolan di pundakku.

Tapi aku ingat kata-kata Wordsworth tentang Newton,

And from my pillow, looking forth by light
Of moon or favouring stars, I could behold
The antechapel where the statue stood
Of Newton with his prism and silent face,
The marble index of a mind for ever
Voyaging through strange seas of Thought, alone.

Bukankah batas langit adalah pikiran dan batas bumi adalah tubuh yang mati?

Maka aku ingin bertanya kepada orang-orang yang selalu berkata dengan lantang, seberapa jauh kau tlah arungi lautan kesunyian itu?

Tentang Dia

mv5bzjljnzk4zjitndk0nc00nwe5lwfmn2utyznlzmu1nza1n2m4l2ltywdlxkeyxkfqcgdeqxvymzuwmtk4oti-_v1_

Poster film Tentang Dia ini mengecoh sekali, ya? Dua orang perempuan, satu memeluk yang lain, sementara di kejauhan, Fauzi Baadila menatap dengan postur yang tampak merajuk. Sekilas kita menyangka, ini film bercerita tentang kisah cinta membingungkan akibat orientasi seksual. Tidak salah, sih. Tapi, tidak bener juga :D. Cerita sebenarnya lebih asyik jika ditonton sendiri.

Ini adalah film ke-5 yang saya tonton yang dibintangi Adinia Wirasti. Film pertama, yang membuka pintu suka aktingnya Adinia adalah Cek Toko Sebelah. Film selanjutnya adalah Critical Eleven, Laura dan Marsha, lalu Suatu Hari Nanti. Sebenarnya saya juga dulu nonton AADC, tapi saat itu Adinia belum menarik perhatian. Mungkin tenggelam oleh Dian Sastro.

Di film ini, Adinia menjadi Rudi. Nama yang cowok banget. Saya berharap ada latarnya kenapa seorang perempuan namanya Rudi. Itu bukan nama aslinya. Meskipun alasan penamaan itu tidak muncul, setidaknya kisah hidup Rudi ada dalam film ini, meskipun hanya dituturkan sedikit di hampir akhir film oleh Pak Dibyo yang sangat kalem.

Nah, meskipun tidak disebutkan alasannya, penamaan Rudi menjadi satu elemen penting dalam cerita. Cerita akan berjalan lain jika nama Adinia bukanlah Rudi, atau nama laki-laki lain, tapi nama perempuan. Justru nama Rudi inilah yang sebenarnya bisa disebut pemicu konflik yang mengarahkan pada klimaks film. Saya tidak harus dikatakan pemberi spoiler ya jika mengatakan bahwa ini film sedih. Dan salah satu penyebab kesedihan yang muncul dalam film ini bisa dikatakan adalah akibat nama Rudi itu.

Salah satu keunikan dalam film ini adalah terdapat satu adegan yang saya pikir orisinal banget. Yaitu ketika Rudi bicara keras-keras ke Gadis yang ada di sebrang jalan. Rudi bicara keras agar terdengar, mengalahkan suara kendaraan lewat. Tapi, jangankan Gadis, kita pun sebagai penonton tidak jelas benar mendengarkan omongan Rudi. Saya pikir awalnya ini adalah kesalahan teknis di sistem audio. Tapi ternyata tidak. Ini adalah bagian dari elemen kejutan dalam cerita karena adegan ini akan diulang lagi nantinya dengan suara yang diperjelas.

Meskipun saya menilai film ini secara keseluruhan bagus, ada beberapa bagian yang kurang sreg. Contohnya adalah adegan hujan-hujanan. Membangkitkan adegan sendu atau romantis, di bawah hujan, sudah sangat basi. Akan tetapi, film ini masih menggunakannya. Baik untuk mengentalkan efek derita Rudi, maupun melambungkan efek romantis Randu-Gadis. Padahal, dengan kemampuan menghadirkan adegan sekeren bundaran HI yang kosong, harusnya sutradara juga mampu membuat sinematik baru untuk mengganti adegan hujan-hujanan tadi.

7/10

Stip & Pensil

mv5botjjnjcznmytnmewos00zwe4lwfkzmytzdgwnzmwmmjhmge0xkeyxkfqcgdeqxvynji3mdyxmjg-_v1_sy1000_cr006791000_al_

Film komedi memang memiliki hak istimewa. Ia boleh melabrak realitas dengan tujuan agar lucu. Akan tetapi, tentu ada batasnya. Jika lewat, malah film jadi maksa. Sesuatu yang sering kita lihat di komedi-komedi murahan di TV.

Begitulah awal cerita Stip & Pensil. Empat anak SMA yang diberi tugas membuat esai. Mereka semangat bikin esai yang bagus karena ingin mengalahkan geng saingannya. Suatu waktu, saat melewati jalan sepi, mobil mereka kempes. Bertemulah mereka dengan Ucok, seorang pengamen anak-anak. Pertemuan ini memunculkan ide untuk mengangkat topik anak jalanan dalam esai mereka. Adegan kemudian berpindah ke saat mereka begadang mengerjakan esai. Singkat cerita, karena keceplosan ingin membuktikan kepada saingan mereka bahwa mereka tidak hanya menulis esai, tapi juga peduli terhadap nasib anak-anak pengamen itu, salah satu dari mereka bilang bahwa mereka juga akan membuat sekolah bagi anak-anak itu. Sesuatu yang menjadi asal-muasal semua konflik di sisa film ini.

Okelah, pembuat cerita memang harus menemukan masalah dalam ceritanya. Meskipun agak sedikit maksa, tapi ini komedi. Masih dalam tahap wajar. Hal ini hanya membuat saya agak sedikit berharap penyelesaian masalahnya tidak menjadi klise.

Dan ternyata memang tidak.

Selain membuat masalah, pencerita tentu harus menyelesaikannya juga. Banyak film gagal karena si pencerita menyelesaikan masalah dengan gampang banget. Level paling buruk adalah dengan suatu kebetulan. Level paling tinggi adalah dengan usaha wajar tokoh-tokohnya. Ada logika cerita yang harus selalu diperhatikan.

Ke-4 anak SMA itu kemudian membangun bangunan semi permanen (mereka anak orang kaya) di sekitar daerah Ucok. Mereka membuat pengumuman di tempat-tempat yang sekiranya mudah dibaca orang-orang. Akan tetapi, tak ada seorang anak pun yang datang. Tentu saja, anak-anak itu tak bisa baca dan juga tak butuh sekolah. Mereka butuh duit. Daripada sekolah mending ngamen, kan?

Usaha ke-2, ketemu Pak RT. Mendapat ijin, lalu door to door mengajak anak-anak sekolah tapi malah bangku-bangku sekolah mereka dicuri penduduk setempat. Mereka akhirnya nebus lagi kursi-kursi itu dengan harga yang tak wajar sambil kemudian kemping di dekat bangunan semi-permanen itu buat jaga agar barang-barangnya tidak dicuri lagi. Hmmm, ini komedi, kan. 🙂

Kesulitan tidak berkurang sampai di sana. Usaha gagal mereka terancam diketahui anak-anak geng saingan karena ada wartawan yang ingin meliput. Untungnya, wartawan itu takut ayam sehingga ia kabur duluan sebelum bisa melihat kosongnya sekolah semi-permanen itu. Hehe, sudah saya bilang kan ini komedi?

Di saat mereka hampir putus asa, tiba-tiba anak-anak berkumpul di depan sekolah mereka, dikomandoi Ucok, siap untuk sekolah. Dengan satu catatan: setiap anak dikasih uang saku 30 ribu yang lalu ditawar 20rb (kecuali sang komandan Ucok yang tarifnya lebih tinggi). Sungguh, inilah yang menyelamatkan film ini. Sesuatu yang sangat realistis mengambil alih kekonyolan-kekonyolan sebelumnya dan menyelamatkan film ini dari penilaian buruk saya. Bayangkan jika cerita kesulitan anak-anak SMA itu, diselesaikan dengan cara “bermoral”, misalnya anak-anak jalanan itu jadi sadar sekolah penting bagi mereka dan mereka jadi sukarela dengan semangat ikut sekolah, lalu film ditutup dengan wajah anak-anak jalanan itu penuh tawa saat belajar A-B-C. Klise yang pasti akan menjengkelkan (meskipun di akhir cerita, anak-anak itu sadar juga sih).

Singkat cerita, semuanya berjalan baik. Anak-anak geng saingan mereka pun akhirnya tidak nyinyir lagi dan malah membantu ikut mengajar di sekolah itu. Tapi tentu itu ada ceritanya. Bakal jadi spoiler jika diceritakan di sini.

Intinya, Stip & Pensil cukup menghibur, punya dialog yang natural dan cerita yang cukup realistis. Kita tidak berharap ada akting yang brilian atau filosofi yang dalam dari cerita model ini. Sebagai komedi, selesainya film ini menyisakan cukup rasa ringan di hati saya. Dan itu membuat saya memberikan nilai 6/10 untuk film ini.

percik dari lagu ebiet g. ade di tengah selimut kabut

Telah kurenungkan bumi. Telah kutatap kedip bintang dan kelam kota. Telah kupikirkan arti hidup. Telah kupaksakan rasa mati. Telah kubayangkan ketiadaan. Telah kudekati rerumputan hijau. Telah kuarungi tepi semesta, tepi pikiran, tepi hidup, dan tepi ada.

Aku nikmat dalam gelap. Jika tak ada hidup. Kematian dalam hening adalah maha surga. Namun ada yang harus selalu ditukar. Aku sesadar-sadarnya manusia. Kesadaranku menembus waktu.

Maka, apa yang kutuliskan tak akan pernah jujur. Sebuah kejujuran tentang kehilangan diri. Pulang dan pergi.