Qt

Beberapa hari yang lalu saya mengunduh Qt. Ternyata pustaka yang satu ini sangat lengkap. Selain modul-modul pustaka-nya, Qt juga menyertakan Qt creator: sebuah IDE Visual untuk pengembangan aplikasi dan dokumentasi yang luar biasa lengkap. Saya tentu saja ngiler.

Tapi saya tidak ingin menggunakan Qt Creator karena sangat spesifik Qt. Tidak terlalu banyak pilihan yang bisa diutak utik dalam IDE ini. Meskipun compiler-nya saya suka karena menggunakan MinGW. 

Sayangnya, menggunakan Qt di Code::Block ternyata tidak semudah menge-link-an pustaka. Program pertama berhasil di-compile tapi tidak berhasil dijalankan. Dan ketika mencari di Internet kesalahannya, Google tidak banyak membantu (mungkin saya salah memasukkan keyword).

Qt mungkin tidak akan secepat FLTK (meskipun dengan yang terakhir ini saya punya pengalaman buruk karena mengunakan kode 3rd party yang memperlambat program yang saya buat). Akan tetapi, Qt menawarkan GUI yang indah dan canggih. Saya pikir, Qt layak untuk dicoba.

Tentang Pensil, Pena, dan Papan Ketik

Mungkin pena atau pensil akan menjadi artifak antik di masa depan. Huruf-huruf tidak lagi disambung menggunakan kedua alat itu. Otot jari tidak lagi memiliki kemampuan menggenggamnya: ibu jari dan telunjuk tak bisa bekolaborasi menggenggam pipa kecil yang berisi tinta atau karbon itu. Yang akan menggantikannya adalah sebuah tombol-tombol kecil yang disusun berdasarkan urutan QWERTYUIOP…

Kemarin saya disuruh untuk mengarang cerita satu halaman menggunakan pensil. Mengarangnya tidak masalah, tapi yang masalah adalah, baru setengah halaman menulis menggunakan pensil, tangan saya benar-benar capek.Tangan itu, yang kanan, sudah lama tidak dibiasakan untuk menulis lagi. Sekarang, biasanya ibu jari saja yang aktif menekan tuts hp atau sepuluh jari dalam kolaborasi membuat tulisan di komputer.

Yang menjadi ironi adalah, alasan huruf-huruf di papan ketik disusun QWERTYUIOP. Anda tahu mengapa urutannya seperti itu? Itu karena urutan seperti itu akan membuat Anda sulit untuk mengetik. Ya, urutan seperti itu dibuat saat papan ketik masih merupakan antarmuka untuk papan ketik mesin yang suaranya cetak cetok itu. Jika Anda ingat jaman-jaman itu, tungkai pencetak huruf kadang saling mengait jika tangan kita terlalu cepat beruntunan menekan dua huruf. Nah, agar tidak terlalu cepat kita mengetik, dibuatlah susunan yang menghambat cepatnya pengetikkan.

Ironinya terletak di mana? Ironinya terletak di sini: Posisi ibu jari dan telunjuk saat menggenggam pulpen adalah posisi yang natural. Posisi inilah yang membuat kita menjadi makhluk yang setingkat lebih tinggi dibanding hewan lain. Posisi ibu jari dan telunjuk yang dapat saling berhadapan ini membuat kita sebagai mahluk handycraft. Kemampuan ini juga yang mengembangkan potensi dari otak kita (citation needed).

Nah, sekarang, setelah ditemukannya sang canggih komputer, kita dipaksa untuk meninggalkan posisi natural kita dalam menulis dan menggantikannya dengan posisi yang sebenarnya membuat otot tangan kita stress. Pernah dengar Carpal Tunnel Syndrom, ini adalah sebuah gejala terpelintirnya median nerve yang dapat menyebabkan melemahnya otot pada tangan (check wikipedia for sure). Salah satu penyebab dari CTS ini adalah terlalu lama mengetik dengan papan ketik komputer!!

Jadi, ya, itu ironi sebenarnya. Tapi tak usah khawatir. Mungkin saya salah. Masih akan ada pensil dan pena di masa depan. Mungkin bahkan papan ketik yang akan hilang. Di masa depan, interaksi antara komputer dan manusia akan memiliki antarmuka yang lebih human-like, dan bukan computer-like.

Ternyata internet lebih dahsyat daripada handphone

Ternyata internet lebih dahsyat daripada handphone. Handphone memangkas ruang sementara internet memangkas ruang dan waktu. Lewat facebook saya menemukan kembali teman-teman lama. Tapi, apakah ini nyata?

Dulu dan sekarang ternyata beda. Medium yang dulu dipakai berinteraksi kini tergantikan. Apa yang sebenarnya kita rindukan? Sosok seseorang, perbincangan dengannya ataukah suatu momen kebersamaan?

Linux 0.01

Tadi main-main ke www.kernel.org dan menemukan di archive mereka linux versi 0.01. Jumlah filenya sedikit sekali. Hanya ada 88 file dengan keseluruhan ukuran hanya 230KB!

Jika saya tidak salah menduga, inilah linux yang pertama kali dilempar oleh Linus ke dunia maya dan menjadi awal dari sistem operasi yang bergambar penguin ini (Tux).

Untuk orang yang ingin belajar sistem operasi, ini tentu harta yang luar biasa. Di mana lagi seseorang dapat belajar sesuatu yang kompleks seperti sebuah sistem operasi dari awal, selain di linux tentu saja.

Viva Open Source!!

Desain Program

Mungkin bagian paling sulit dari pemrograman adalah desain. Anda bisa saja tidak tahu fitur atau sintaks dari suatu bahasa pemrograman, tapi itu selalu bisa dipelajari atau dilihat ke buku referensi. Tapi, desain?

Bagaimana membuat sebuah desain yang bagus? Mungkin di sinilah pemrograman bertemu dengan seni. Tentu saja ada benarnya dan ada salahnya. Yang pasti, meskipun ada buku yang membahasa cara untuk melakukan desain dalam pemrograman, ini seperti suatu resep umum yang biasanya jarang bisa diterapkan seratus persen dalam kasus nyata.

Pada akhirnya, setiap orang akan belajar desain yang efektif lewat jam terbang. Itulah mengapa seorang programmer tak mungkin melewati sebuah jalan pintas. Tebing yang curam itu adalah syarat perlu untuk menjadi seorang master. Ingat, syarat perlu, bukan syarat cukup.

CHM Page Cannot Be Displayed

Baru saja buka file .chm dan yang ada hanya pesan “The Page Can not Be Displayed”. Setelah Googling ternyata masalahnya ada di path letak file tersebut: jangan ada karakter “aneh”, untuk kasus saya, ada karakter #. Setelah karakter itu dihapus, file chm bisa dibuka seperti biasa (Meskipun kadung menghapus satu file karena kirain filenya emang corrupt).

Akhirnya Install Linux Juga

Akhirnya ada waktu luang juga untuk menginstall Linux. Ubuntu 8.04 (Hardy Heron) terpasang di hard disk yang sama dengan Windows XP. Banyak yang mesti didownload untuk melengkapi, seperti Wine, Virtual Box dan nVidia driver walaupun ternyata semuanya telah tesedia di DVD bawaan Info Linux yang pernah dibeli. Habis deh quota Speedy ku :).

Anyway, Linux ternyata not bad. Tidak susah hanya belum terbiasa. Sebelumnya di kantor coba install Ubuntu 7.10 di Virtual Box dan karena memori yang kurang, main uninstall banyak paket yang tidak perlu. Tahunya tiba-tiba desktopnya gak jalan dan akhirnya harus main-main di text-based. Tapi tak apa karena asyiknya Linux di sana. 🙂

Salah satu yang mungkin agak merisaukan ketika bekerja di Linux namun tetap harus berhubungan dengan desktop Windows adalah masalah font. Di Linux tak ada Times New Roman, Arial dan font-font lain yang biasa kita jumpai di Windows. Saya gak tau apakah ini adalah sebuah masalah besar. Apakah semua yang kita ketik di OpenOffice dengan font yang tidak ada di Windows akan membuat tulisan kita jadi missing-font? Iya kali ya 🙂

Tapi Blender manis sekali dalam fullscreen mode. Mungkin sugesti tapi rasanya lebih mantap pake Blender di Linux daripada di Windows. Mungkin karena setiap kali jalanin Blender di Windows, harus selalu muncul layar console sehingga perasaan Blender bukan aplikasi yang mantap nanceb di Windows. Di Linux, Blender memang merasa seperti di rumah sendiri.

Overall, Linux memang hebat. Two Thumns Up.